KREARIFINDO Creative Solution

PhotobucketPhotobucket PhotobucketPhotobucket

Tampilkan postingan dengan label info. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label info. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Agustus 2011

BENARKAH INI MEMBATALKAN PUASA?

Posted by video download On 06.12

Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang membatalkannya. Menjadi penting untuk terus dikaji karena di tengah-tengah masyarakat Muslim juga tumbuh fikih-fikih tertentu yang berkaitan dengan pembatal-pembatal puasa dan sangat masyhur, namun sebagian di antaranya tidak dibangun di atas dalil.

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi silang pendapat di antara para ulama. Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak kuat dalil-dalilnya.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan berikut sebagian besar disarikan dari Kitab Fatwa Ramadhan, cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf, yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in. Di antara faedah yang dapat kita petik dari kitab ini adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan disengaja (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah l telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di dalam Shahih Muslim. Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. [Fatwa Ramadhan, 2/426—428]

Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. [Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435]

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930]

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. [Fatwa Ramadhan, 2/481]

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz ra berkata,

“Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata dalam beberapa fatwanya:
  • “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
  • “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
  • “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” [Fatwa Ramadhan, 2/460—466]

Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. [Fatwa Ramadhan, 2/510—511]

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya:

“Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” [Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934]

Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda:

...يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي...

“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah).” [Sahih, HR. Muslim]

Beliau juga bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” [HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’]

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” [HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935]

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas ra dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)

Demikianlah beberapa ringkasan penjelasan dari para ulama tentang pembatal puasa. Yang terpenting bagi setiap muslim adalah, meyakini bahwa Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[Dari Asy Syariah]

Sabtu, 23 Juli 2011

PENANGGALAN ISLAM MENURUT AL-QURAN

Posted by video download On 05.58

Manusia purbakala semenjak Adam sampai Nuh senantiasa menggunakan penanggalan Qamariah, dan yang demikian itu sesuai dengan firman Allah:

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah[9]:36)

Tetapi setelah badai Nuh, terjadilah pergantian musim karena bumi bergerak zig-zag ke selatan dan ke utara garis ekliptik sewaktu mengorbit pada lingkarannya mengitari matahari. Pergantian musim tersebut nyata mempengaruhi sosial ekonomi penduduk yang mendiami zona temperatur, maka penduduk Mesirlah yang pertama kali menjadikan pergantian musim untuk penanggalan sesuai dengan jadwal pertanian waktu itu. Ini ditandai dengan bintang Sirius bersamaan dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Menurut catatan yang ada, hal yang sama juga berlaku pada bangsa Maya di Mexico sejak kira-kira 580 tahun sebelum Masehi.

Sewaktu Julius Caesar berada di Mesir, dia mempelajari penanggalan musim, dan dengan pertolongan seorang astronom Greek bernama Sosigenes, maka berubahlah tradisi bangsa Romawi yang awalnya menggunakan penaggalan Qamariah menjadi penanggalan musim. Bahkan salahsatu nama bulan dalam penaggalan musim itu ditukar dengan July untuk menghormati Caesar. Dia dilahirkan pada tahun 116 sebelum Masehi dan meninggal tahun 44 sebelum Masehi, sedangkan penanggalan musim mulai disyahkan pada tahun 45 sebelum Masehi, yaitu satu tahun sebelum kematian Julius Caesar.

Sewaktu penanggalan tersebut diuji ternyata cocok dengan pergantian musim yang satu tahunnya terdiri dari 365 hari 6 jam. Maka mulailah bangsa lain, yang awalnya menggunakan Lunar Year, mengikuti penanggalan musim. The 1973 World Almanac And Book of Facts menyatakan bahwa penganut Protestan baru mulai menggunakan penanggalan musim pada permulaan abad 18 Masehi. Perancis pada tahun 1793, Jepang tahun 1873, China tahun 1912, Greek tahun 1924, dan Turki tahun 1927.

Setelah enam belas abad, penanggalan musim yang disahkan oleh Julius Caesar itu ternyata tidak tepat lagi sebagai tahun musim, sebab memang pergerakan Bumi ke utara dan ke selatan telah semakin berkurang sesuai dengan berkurangnya gerak pendulum bebas. Daerah kutub yang diliputi es semakin meluas sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Quran surah Ar-Rad ayat 41 dan surah Al Anbiyaa ayat 44 hingga pernah dikatakan “Bumi jadi semakin dingin”, dan musim dingin memang lebih cepat datangnya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Karena itu, Paus Georgery VIII merubah penanggalan tersebut dan menetapkan tanggal 4 oktober 1582 menjadi tanggal 15 oktobe 1582, atau memperpendeknya sebanyak sebelas hari berdasarkan pada pergantian musim yang tidak cocok lagi dengan penanggalan Julius Caesar, dan bahwa waktu dalam tahun musim telah semakin berkurang. Tepatnya waktu itu ialah 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik. Penanggalan inilah yang sampai pada abad 20 Masehi masih dipergunakan oleh berbagai bangsa di dunia.

Sebagai akibat dari kalender Georgery ini, maka Inggris dan daerah kolonialnya di Amerika merubah pula tanggal 3 September 1752 menjadi tanggal 14 September 1752, hingga kelahiran George Washington yang pada awalnya dicatat tanggal 11 Pebruari 1731 harus dirubah menjadi tanggal 22 Pebruari 1731. Sementara itu timbul pula perbedaan pendapat mengenai hari kelahiran Jesus yang dinyatakan 25 Desember, ada yang menyatakan 4 tahun sebelum tahun Masehi yang berlaku, hingga tahun 2011 seharusnya ditulis tahun 2015.

Julius Caesar telah melakukan hal yang benar pada zamannya, begitu pula Paus Georgery VIII pada zamannya. Keduanya menyusun penanggalan musim yang cocok pada zaman masing-masing, tetapi waktu pergantian itu sendiri yang telah berkurang. Dan benar pula pernyataan Encyclopedia Americana 1975 jilid 9 halaman 588; yakni 75’ setiap seratus tahun.° 27’ pada tahun 1975, dan berkurang terus menerus 0° bahwa penyimpangan ekuator bumi dari garis ekliptik keliling matahari tercatat 23.

Adapun penanggalan musim yang disebut juga dengan tahun Masehi ini sebetulnya bukan berdasarkan pada edaran bumi yang mengelilingi matahari. Sebab Julius Caesar dan Paus Georgery VIII sendiri ketika itu masih mengira bahwa bintang-bintang mengitari bumi dan mereka belum mengetahui keadaan bumi yang sebenarnya. Tetapi anehnya, umat manusia hari ini masih menggunakan penanggalan musim tersebut, bahkan mengira bahwa orbit bumi mengelilingi matahari merupakan dasar yang cocok untuk penanggalan itu.

Suatu hal yang selama ini kurang diperhatikan penduduk bumi adalah bahwa sesungguhnya penanggalan musim itu hanya menguntungkan penduduk zona temperatur belahan utara, tetapi merugikan penduduk belahan selatan, terutama menyangkut hari-hari libur. Mereka merayakan tahun baru tanpa dasar yang pasti, dan berbulan baru saat bulan di angkasa sedang purnama.

Kalender Julius Caesar diperbaiki Paus Georgery VIII setelah 16 abad, dan perbaikan itu sudah berlangsung selama 4 abad. Oleh karenanya sangat wajar bila kemudian timbul pendapat yang mengatakan penaggalan pergantian musim tidak cocok lagi dengan penanggalan Masehi. Penanggalan inilah yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. At-Taubah[9]:37)

[Ingat, bahwa sesudah tanggal 4 Oktober 1582 harus ditulis tanggal 15 Oktober 1582, demikian seterusnya.]

Allah melarang kita menggunakan penanggalan berdasarkan pergantian musim karena tidak permanen, bahkan dari waktu ke waktu kian berkurang rentang masanya serta menguntungkan penduduk belahan utara untuk sementara waktu tetapi merugikan penduduk di selatan untuk selamanya. Apalagi di daerah kutub, di mana satu tahunnya terdiri dari satu siang dan satu malam. Penanggalan itu menghilangkan nilai empat bulan penting dalam Islam yang pada awal abad 15 Hijriah hampir tidak dihiraukan oleh orang-orang muslim sendiri karena pada bulan-bulan tersebut mereka masih tetap melakukan perburuan di muka bumi. Dan yang paling terkesan adalah bahwa penanggalan musim itu telah memperbanyak hari libur di antara masyarakat Islam, ditambah dengan wajib puasa pada bulan Ramadhan.

Dinyatakan bahwa penanggalan musim itu sebagai suatu kemunduran karena mengundurkan jumlah hari dalam setahun dari 355 hari menjadi 365 hari pada abad 15 Hijriah, dan dinyatakan penambahan dalam kekufuran karena penanggalan itu menyebabkan tanggal-tanggal penting dalam Islam menjadi tidak menentu dan tidak pasti. Penanggalan itu juga yang menyebabkan orang berlibur mingguan, terbukti dengan nama hari Friday dan Sunday, yaitu hari untuk libur saat mana hukum Islam menjadi sulit untuk dilaksanakan. Akhirnya pengguna penanggalan musim menghalalkan yang secara jelas diharamkan oleh Allah dan itulah penambahan dalam kekufuran.

Allah menyatakan agar penanggalan didasarkan pada orbit bumi dan orbit bulan seperti dimaksud pada surah At-Taubah ayat 36 di atas, bahkan lebih jelas lagi ditegaskan-Nya pada ayat-ayat berikut ini:

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Al-Baqarah[2]:189)

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal." (QS. Al-Baqarah[2]:197)

Hilal, yaitu bulan baru atau bulan sabit yang waktunya ditentukan oleh Allah 12 kali dalam satu tahun, selain ditegaskan dalam Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 36 di atas, juga sangat erat hubungannya dengan ayat berikut:

"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus[10]:5)

"Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa." (QS. Yunus[10]:6)

Karenanya, inilah yang harus dijadikan sebagai dasar penanggalan. Selama 12 bulan itu ada 4 bulan terlarang saat mana wajib Haji berlaku bagi setiap Muslim yang sanggup. Adapun dari surah Al-Baqarah ayat 189 di atas, kita mengerti bahwa manusia tidak dibenarkan mendatangi rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi hendaklah dari pintu-pintu depannya dan tentu saja, tiak seorang pun yang memiliki akal sehat memilih memasuki rumah dari belakang yang tidak berpintu. Namun yang sesungguhnya dimaksud oleh Allah dalam Ayat Suci itu, sekalipun tampaknya wajar dan lumrah saja, adalah mendatangi atau memasuki bulan penanggalan setiap tahun harus dari Hilal yang sudah lebih dulu dinyatakan pada awal ayat itu sendiri.

Artinya, hendaklah orang berawal bulan di waktu Hilal mulai muncul di ufuk barat di senja hari yang berlaku pada penanggalan Qamariah. Tetapi orang yang memakai penanggalan musim tidak memperdulikan Hilal, bahkan mereka berawal justru saat bulan sedang purnama. Hal ini dinyatakan Allah sebagai mendatangi rumah dari belakang yang tidak berpintu, dan pada Ayat ke 37 surah Al-Baqarah dinyatakan sebagai menambah pada kekafiran.

Jika penanggalan musim tidak berdasarkan pada orbit bumi yang mengelilingi matahari dan tidak pula pada orbit bulan yang mengelilingi bumi, disusun hanya untuk keuntungan pertanian penduduk belahan utara buat sementara, dan selalu merugikan penduduk belahan selatan selamanya; maka penanggalan Qamariah yang berdasarkan orbit kedua benda angkasa tadi secara logis dan adil justru menguntungkan semua orang.

Dengan memakai penanggalan Qamariah, maka:
  1. Ibadah puasa bulan Ramadhan untuk 18 tahun berlangsung pada musim semi dan musim panas di setiap zona temperatur, dan 18 tahun selanjutnya berlangsung pada musim gugur dan musim dingin secara bergantian. Sekiranya bulan Ramadhan itu diganti dengan July atau January maka keadilan tadi tidak akan berlaku. Demikian pula ibadah Hajji ke Makkah.
  2. Penanggalan dengan mudah dapat diketahui setiap hari, berdasarkan keadaan bulan di angkasa dan berlaku permanen pada tanggal tertentu setiap bulan, hal mana tidak mungkin diketahui pada penanggalan musim.
  3. tigapuluh satu bulan pada Lunar Year sama dengan tigapuluh bulan Solar Year, hal mana menguntungkan pekerja bulanan dan orang-orang yang digaji menurut penanggalan.
  4. Penanggalan Qamariah sifatnya tetap tanpa perubahan di bumi, demikian pula di planet-planet lain sebagaimana dimaksud dalam Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 36. Pada saatnya nanti akan diketahui apakah kecepatan orbit bulan sama dengan kecepatan bulan kita atau tidak, tetapi jelas sekali bahwa pergantian musim di setiap planet tidak wajar dijadikan dasar penanggalan.
Dalam Alquran, tahun penanggalan yang berhubungan dengan orbit bulan yang mengelilingi bumi dan orbit bumi yang mengelilingi matahari dinamakan dengan "Sanah" yang kini disebut tahun Qamariah, sementara yang berhubungan dengan musim dinamakan dengan "‘Aam" yang kini disebut tahun Syamsiah atau Solar Year.

Tahun Qamariah atau Lunar Year yang menjadi dasar penanggalan Hijriah adalah tahun yang rentang waktunya tidak pernah berkurang. Ini dapat difahami jika orang sudi memperhatikan sejarah dan keadaannya:
  1. Orbit bumi yang mengelilingi matahari bukanlah berupa lingkaran bundar karena lingkaran begini akan menggambarkan jarak bumi dari matahari selalu sama sepanjang tahun, padahal pengukuran dengan sistem parallax menyatakan ada kalanya bumi berjarak 90 juta mil dari matahari dan ada kalanya berjarak 94 juta mil. Sekiranya orbit bundar itu benar maka bumi akan kekurangan daya layangnya untuk mengitari matahari, dan aktifitas sunspot di permukaan matahari tetap stabil, statis, padahal perubahan aktifitas itu selalu ada yang ditimbulkan oleh tarikan matahari pada planet-planet lain yang kadang-kadang mendekat dan kadang-kadang menjauh.
  2. Orbit bumi yang mengelilingi matahari bukan pula berupa lingkaran elips atau lonjong karena lingkaran begini akan membentuk dua titik perihelion dan dua titik aphelion orbit. Jika benar elips atau lonjong, maka susunan tatamatahari akan kacau balau dengan akibat yang sulit diramalkan. Dan dengan pemikiran logis, orbit demikian dapat dikatakan tidak mungkin terjadi dalam tarik-menariknya matahari dengan bumi, karena setiap kali bumi berada pada titik perihelion orbitnya, dia harus tertarik untuk membelokkan arah layangnya ke kiri beberapa derajat mendekati matahari yang dikitari.
  3. Orbit berbentuk lingkaran oval adalah satu-satunya yang diciptakan untuk bumi, memiliki satu perihelion yaitu titik di mana bumi paling dekat pada matahari sembari melayang cepat, dan satu titik aphelion yaitu titik terjauh dari matahari saat mana bumi melayang lambat. Dengan orbit oval begini terwujudlah daya layang berkesinambungan menurut KETENTUAN Allah, begitu pun jarak relatif antara 90 juta mil, dan aktifitas sunspots yang berubah-ubah sepanjang tahun guna mewujudkan pergantian musim dan perubahan cuaca di muka Bumi.
Keadaan orbit planet yang demikian ini dinyatakan oleh Allah dengan sebutan "Sidrah" pada ayat-ayat berikut:

"(yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya." (QS. An-Najm[53]:14-16)

Arti Sidrah adalah Teratai, bunga yang mengambang di atas permukaan air sementara akarnya tertanam kuat ke tanah di dasar air. Saat pasang naik, teratai itu ikut naik dan ketika pasang surut dia pun ikut turun. Demikian pula bumi bergerak mengitari matahari dalam orbit ovalnya - yang prinsipnya kemudian digunakan oleh manusia pada roda dengan sistem piston guna penambah daya dorong pada mesin bertenaga besar.

Lingkaran oval berbentuk telur memiliki bujur besar dengan titik aphelion, dan bujur kecil dengan titik perihelion. Sewaktu bumi berada pada titik perihelion ini, tarik-menariknya dengan matahari sangat kuat sehingga pada saat itu gelombang laut menjadi lebih besar daripada biasanya, dan dimulailah penanggalan Muharram sebagai bulan pertama Lunar Year. Karena keadaan bumi serius sekali, melayang cepat dan saat itu posisinya sangat dekat dengan matahari, lalu dinamakan Muharram atau bulan terlarang atau Syahrul Haraam yang sering pula diartikan sebagai “Bulan Mulia.”

Kemudian bumi mulai melayang lambat dan paling lambat saat berada di titik aphelion, yaitu bulan ke-tujuh. Maka bulan Rajab itu pun dinamakan bulan terlarang karena bumi ketika itu paling jauh dari matahari dan dalam keadaan serius pula. Pada tanggal 27 bulan itulah, dahulu Nabi Muhammad SAW dimi’rajkan Allah dari bumi ke Sidhratil Muntaha.

Setelah itu bumi mulai pula melayang cepat karena ditarik oleh matahari hingga mencapai bulan ke-sebelas dan lebih cepat pada bulan ke-duabelas, yaitu bulan Zulkaedah dan Zulhijah. Semakin dekat pada matahari, kedua bulan itu lalu dinamakan juga bulan terlarang karena nyatanya bumi dalam keadaan serius. Dan pada tanggal 29 Zulhijah, bumi menyelesaikan satu orbitnya 345 derajat matahari, yaitu satu tahun Lunar Year.

Itulah sebabnya kenapa Muharram, Rajab, Zulkaedah, dan Zulhijah dinamakan empat bulan terlarang. Pada bulan-bulan ini bumi sedang mengalami tarikan kuat dari matahari dan juga mengalami tarikan terlemah hingga manusia di bumi bagaikan diberi peringatan tentang planet yang didiaminya, terutama mereka yang mengetahui hisaab atau perhitungan nasib diri. Namun keadaan ini juga mengandung ilmu astronomi yang perlu dipelajari oleh manusia.

Sementara itu, bulan Rabi’ul Awal, bulan di mana Rasulullah saw lahir dan meninggal dunia, begitu juga bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya Al-Quran, sama-sama tidak dinyatakan sebagai bulan terlarang. Dari sini cukup jelas bahwa Islam tidak mengenal kultus. Sebagai contoh, Al-Quran tidak memberikan cukup data tentang hari kelahiran Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw, sekalipun yang disebut pertama adalah pendiri Ka'bah dan dinyatakan oleh Allah sendiri sebagai Imam bagi seluruh umat manusia, sementara yang kedua dinyatakan-Nya sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam sekaligus Nabi penutup dan Rasul Allah yang terakhir.

Satu kali orbit bumi mengitari matahari bukan 360 derajat, akan tetapi 345 derajat, yang dilaluinya selama 354 hari 8 jam 48 menit dan 36 detik. Dalam satu bulan Qamariah, bumi bergerak sejauh 28? 45’ atau dalam satu hari sejauh 0derajat 58’ 28’’,4.

Perlu dicatat bahwa bulan mengorbit mengitari bumi sejauh 331? 15’, selama 29 hari 12 jam 44,04 menit. Dia bergerak dalam satu hari sejauh 11? 12’. Jadi keliling 360? – 331? 15’ = 28? 45’. Jika dikalikan 12 bulan Qamariah maka satu tahun Islam adalah 354 hari 8 jam 48 menit dan 36 detik atau 345 derajat gerak edar bumi mengelilingi matahari.

Untuk mengitari matahari 360 derajat keliling, bumi memerlukan waktu selama 370 hari. Sementara itu, satu tahun musim pada abad 20 Masehi dijalani Bumi sejauh 355? 12’ selama 365 hari 6 jam. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlambatnya bintang-bintang di angkasa pada waktu tertentu yang sama setiap tahunnya sejauh 4? 48’.

48’ sebelum mencapai titik lingkaran penuh, hingga 360? – 355? 12’ = 4? 48’. Jika dikalikan dengan 75 tahun musim menjadi 360? barulah bumi berada pada posisinya semula sebagai awal tahunnya. Ketika itu bintang-bintang di angkasa mungkin berada kembali pada posisi tertentu pada waktu bersamaan dengan 75 tahun y° Jadi menurut tahun musim atau Solar Year, bumi bergerak mengelilingi matahari sejauh 355? 12’, karena bumi sendiri tidak berada pada titik perihelion orbit awalnya.

Namun jika dihitung menurut tahun Hijrah atau Lunar Year, ternyata bumi memulai orbitnya dari titik perihelion pada tanggal 1 Muharram, lalu bergerak 345 derajat keliling matahari yaitu 15? sebelum mencapai titik lingkaran 360 penuh. 24 tahun kemudian, bumi akan berada kembali pada posisinya semula, yaitu 360? – 345? sama dengan 15? x 24 tahun = 360?. Waktu itu setiap bintang di angkasa berada kembali pada posisi tertentu bersamaan dengan posisinya pada waktu tertentu 24 tahun silam, dan bumi juga berada kembali pada titik perihelion orbitnya lagi.

Adakah ayat-ayat Allah yang menganjurkan manusia untuk menggunakan penanggalan Qamariah?

Al-Quran memberitahu manusia tentang hal-hal yang logik, sesuai dengan pertimbangan dan pemikiran akal sehatnya. Ini disebutkan dalam berbagai ayat, di antaranya:

"(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu." (QS. Ali-Imran[3]: 60).

Al-Quran mengandung pokok-pokok keterangan dan jawaban atas setiap pertanyaan, dinyatakan dengan:

"(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl[16]:89).

Hanya manusia saja yang belum dapat dengan sungguh-sungguh mengambil manfaat dan menggunakan seluruh keterangan Al-Quran dengan sebaik-baiknya. Adapun mengenai penanggalan, secara spontan Al-Quran memberikan pelajaran sebagaimana dimaksudkan pada ayat-ayat tersebut di atas, yakni surah At-Taubah ayat 36 dan 37 serta surah Yunus ayat 5 dan 6.

Rangkaian ayat suci di atas secara jelas menerangkan bahwa penanggalan yang berlaku dan yang harus digunakan dalam seluruh aspek kehidupan dalam wilayah tata-surya ini adalah penanggalan Qamariah di bumi. Sebab penaggalan pergantian musim nyata semakin pendek waktunya, dan jika orang menggunakan penanggalan musim pula di Jupiter misalnya, maka satu tahun di sana adalah sama dengan sebelas tahun di bumi, karena selama itu pula masa pergantian musim di planet itu. apalagi kalau di Saturnus yang satu musimnya berlangsung selama 29 tahun bumi!

Penanggalan Qamariah di bumi mungkin banyak faedahnya terutama saat sudah berjalannya penerbangan antar planet. Satu-satunya planet yang memilik SATU BULAN hanyalah bumi. Oleh karenanya praktislah penanggalan Qamariah di bumi digunakan untuk wilayah tata-surya kita. Sebentar lagi terwujudlah hubungan antar planet itu sebagai realita dari maksud surah Yunus ayat 6 tadi dan sesuai pula dengan ayat berikut:

"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. At-Thalaq[65]:12)

Karenanya, hendaklah manusia membiasakan diri dengan maksud yang terkandung dalam surah At-Taubah ayat ke 36 di atas.

Jika orang melihat matahari condong ke utara atau ke selatan sewaktu terbit dan terbenamnya, maka itu hanyalah karena gerakan zigzag dari bumi ketika bergerak mengelilingi matahari. Kejadian yang dilihat itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada tanggal 21 Maret, matahari tepat berada di atas garis ekuator sambil bergerak ke arah utara, dan tanggal 21 Juni matahari mencapai titik 23,5 derajat dari ekuator, titik pada garis keliling yang dinamakan dengan Tropic of Cancer. Ketika itu berlaku siang terpanjang di belahan utara, sebaliknya malam terpanjang di belahan selatan. Dari tanggal 21 Juni matahari mulai bergerak kembali ke arah ekuator dan tepat berada di atas garis ekuator pada tanggal 21 September.

Pada tanggal 22 September matahari terus bergerak dari garis ekuator ke arah selatan dan sampai di garis yang dinamakan Tropic of Capricorn yaitu pada titik 23,5 derajat dari ekuator keliling bumi. Ketika itu tercatat tanggal 22 Desember saat mana berlaku siang terpanjang di belahan selatan dan malam terpanjang di belahan utara. Selanjutnya matahari bergerak kembali ke arah ekuator bumi dan sampai pada tanggal 20 Maret untuk pergantian musim selanjutnya.

Dengan gerakan matahari yang tampak dari bumi demikian, timbullah tiga lingkungan daerah tadi, baik di belahan utara maupun di belahan selatan yang rentang waktu siangnya berlainan, begitu pula rentang waktu malamnya. Disebabkan oleh hal itu pula adanya empat pergantian musim di zona temperature yaitu yang dinamakan orang sebagai musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Perpindahan posisi matahari itu juga yang menimbulkan waktu subuh, maghrib, dan sebagainya tidak pernah tetap di suatu daerah. Kadang-kadang lebih cepat dari biasanya dan kadang-kadang lebih lambat.

Misalnya pada bulan Juni, penduduk Eropa Utara mengalami waktu subuh pada jam 03.00 menurut waktu setempat, dan waktu maghrib pada jam 21.00. Tetapi pada bulan Desember; waktu subuh di sana berlaku pada jam 09.00 dan waktu manghrib pada jam 15.00. Sementara itu pada kedua bulan tersebut, penduduk Australia mengalami waktu subuh dan manghrib sebaliknya.

Dari catatan perkembangan sejarah sejak abad ke-tujuh Masehi dapat diketahui bahwa masyarakat Islam senantiasa menentukan waktu Shalat dan Puasa berdasarkan terbit dan terbenamnya matahari dipandang dari daerah kediaman masing-masing. Begitu pula penanggalan tahunan yang menurut surah At-Taubah ayat ke 36 harus didasarkan pada orbit bulan. Tetapi karena adanya pengaruh Bani Israil, tanpa disadari, banyak sekali umat Muslim yang menggunakan penanggalan musim, padahal hal itu sudah diperingatkan oleh Allah sebagai hal yang menambah pada kekafiran. Mereka mengawali bulan baru pada saat bulan di angkasa tampak purnama yang seharusnya dinyatakan sebagai 'pertengahan bulan' dalam penanggalan.

Mereka mengawali bulan baru tanpa dasar dan alasan yang pasti, kecuali menyebutkan "tradisional" sebagai alasan penyimpangannya. Begitu pula dalam bertahun baru menurut penanggalan musim atau Solar Year yang umumnya disebut tahun Masehi, mereka tidak memiliki dasar dan bukti yang kuat. Jika penanggalan itu benar-benar cocok dengan pergantian musim yang menjadi dasar penyusunannya, maka permulaan tahun atau tahun baru Masehi bukanlah pada 1 Januari, akan tetapi pada 23 Desember, yaitu tanggal permulaan matahari tampak bergerak dari Tropic of Capricorn di belahan selatan bumi ke arah Tropic of Cancer di belahan utara.

Jika misalnya penanggalan itu berdasarkan pada orbit bumi mengelilingi matahari, maka tahun barunya juga tidak akan selalu tepat pada tanggal yang sama sepanjang masa, karena orbit bumi 360º keliling matahari tidak berlangsung selama 365 1/4 hari pada abad 15 Hijriah, melainkan 370 hari dengan bukti bahwa posisi bintang-bintang di angkasa setiap tanggal 1 Januari dari tahun ke tahun senantiasa terlambat 40º 48′.

Jadi, pada tiap-tiap tahun barunya ternyata bumi tidak berada pada permulaan orbitnya. Bukan dimulai dari waktu bumi berada di titik Prihelion orbitnya, dan bukan pula dimulai waktu bumi berada pada derajat permulaan geraknya mengitari matahari.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas ialah bahwa sesungguhnya penanggalan yang benar adalah penanggalan Lunar Year atau Qamariah sesuai dengan petunjuk dan ridha Allah.

Perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari tampak di suatu daerah bukanlah disebabkan oleh perubahan kecepatan rotasi bumi, tetapi terjadi karena ditimbulkan oleh garis zig-zag bumi dalam orbitnya mengitari matahari yang menyebabkan adanya pergantian musim.


[Sumber: myquran.com]


Jumat, 22 Juli 2011

BAGAIMANA CARA MENGHITUNG KALENDAR HIJRIAH?

Posted by video download On 17.01

Kita perhatikan bahwa Hari Raya Islam setiap tahunnya tidak pernah jatuh pada tanggal yang sama, pada kalender Masehi yang kita gunakan sehari-hari. Bulan puasa tahun ini lebih cepat sekitar sebelas hari daripada tahun lalu. Bulan puasa tahun ini juga akan lebih lambat sekitar sebelas hari daripada bulan puasa tahun depan. Lalu, bagaimana sebenarnya cara perhitungan kalender umat Islam ini?

Dari tahun ke tahun dengan akumulasi perbedaan sekitar sebelas hari tiap tahunnya, misalnya, hari raya haji tidak selalu datang pada musim yang sama. Kadang hari raya haji terjadi pada musim panas dengan sinar matahari yang terik, kadang terjadi pada musim dingin yang menggigil. Mengapa terjadi perbedaan sekitar sebelas hari antara penanggalan Islam dengan penanggalan yang kita gunakan sehari-hari, yang resmi digunakan oleh dunia internasional?

Perbedaan ini bukan karena jumlah bulan yang berbeda antara penanggalan Islam dengan penanggalan Masehi. Pada prinsipnya jumlah bulan dalam kedua sistem penanggalan adalah sama. Keduanya memiliki duabelas bulan dalam satu tahunnya. Tahun dalam kalender yang digunakan sehari-hari atau penanggalan masehi diawali dengan Januari dan berakhir dengan Desember. Tahun dalam penanggalan Islam atau Hijriah diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Diantaranya terdapat bulan Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, dan Dzulko’dah.

Lantas apa yang membuat penanggalan Islam lebih cepat daripada penanggalan masehi? Pada penanggalan Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang dapat diamati dengan mata telanjang. Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang murni berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar), yaitu siklus dua fase bulan yang sama secara berurutan.

Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan rata-rata siklus fase sinodis Bulan 29,53 hari. Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik. Itulah sebabnya kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan kalender masehi dan kalender lainnya yang diperhitungkan berdasarkan pada pergerakan semu tahunan matahari (solar calendar). Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada musim yang sama. Selain itu, dalam jangka waktu satu tahun masehi bisa terjadi dua tahun baru hijriah. Contohnya seperti yang terjadi pada tahun 1943, dua tahun baru hijriah jatuh pada tanggal 8 Januari 1943 dan 28 Desember 1943.

Perbedaan antara penanggalan hijriah dengan penanggalan masehi yang kita gunakan sehari-hari tidak berhenti di situ saja. Terdapat pula perbedaan pada pergantian harinya. Kita ketahui bahwa hari baru pada penanggalan masehi berawal pada jam 00.00 malam hari. Itu pula sebabnya orang sering mengucap selamat ulang tahun pada tengah malam jam 00.00 saat pergantian hari, dengan harapan ucapan tersebut menjadi ucapan pertama pada awal hari jadinya seseorang.

Dalam penanggalan Hijriah hari baru berawal setelah Matahari terbenam dan berlangsung sampai saat terbenamnya Matahari keesokan harinya. Misalnya, hari pertama dimulai sejak matahari terbenam hari sabtu dan berakhir sampai matahari terbenam pada hari minggu. Hari kedua dimulai sejak matahari terbenam hari minggu sampai matahari terbenam keesokan harinya, hari senin. Begitu seterusnya. Ketujuh hari dalam penanggalan Hijriah memang tidak dinamai, melainkan dinomori. Ketujuh hari tersebut adalah:

• Yawm al ‘ahad: hari pertama
• Yawm al ‘itsnayn: hari kedua
• Yawm ath tsalatsa: hari ketiga
• Yawm al ‘arba’a: hari keempat
• Yawm al khamis: hari kelima
• Yawm al jum’a: hari keenam
• Yawm as sabt: hari ketujuh

Untuk keperluan sipil sehari-hari, misalnya untuk negara-negara Islam yang memakai penanggalan Hijriah sebagai kalender resminya, penanggalan ini didasarkan pada perhitungan (hisab). Bulan terdiri dari 29 dan 30 hari secara bergantian. Dimulai dengan bulan Muharram yang terdiri dari 30 hari, disusul dengan Shafar 29 hari, kemudian Rabiul awal 30 hari dan seterusnya secara bergantian sampai bulan Dzulhijjah. Tetapi khusus untuk bulan terakhir ini jumlah hari bisa 29 atau 30 hari. Untuk tahun kabisat, bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari. Untuk tahun basithoh (biasa), bulan Dzulhijjah terdiri dari 29 hari. Sehingga jumlah hari dalam tahun kabisat akan menjadi 355 hari.

Untuk keperluan keagamaan, misalnya untuk menentukan awal bulan Ramadhan atau Hari Raya, pergantian bulan pada penanggalan Hijriah tetap diwajibkan dengan dasar pengamatan hilal (rukyah). Pengamatan hilal ini pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan sumpah suci pengamat berikut saksi. Di Indonesia kita kenal Badan Hisab Rukyat, bersama-sama dengan Departemen Agama, yang bertugas mengamat hilal di suatu tempat khusus. Ilmuwan, dalam hal ini ahli ilmu falak dan astronom, tidak ketinggalan. Karena terlihat atau tidaknya hilal dapat diprediksi dengan perhitungan yang sudah menjadi pekerjaan mereka sehari-hari.

Tetapi dalam hal hilal ini terkadang suatu organisasi Islam mempunyai acuannya sendiri. Satu dengan lainnya tidak selalu sejalan. Oleh karena itu tidak mengherankan bila sering timbul perbedaan dalam memulai ibadah puasa dan Hari Raya Idul Fitri, misalnya. Hal yang seringkali terjadi di tanah air. Walaupun demikian, hendaknya persoalan ini tidak menjadi pembeda yang dapat meresahkan umat.


RUMITKAH CARA PERHITUNGAN KALENDAR ISLAM?

Posted by video download On 16.59

REPUBLIKA - Meskipun ada kalanya tahun baru Islam dan tahun baru Masehi hampir berdempetan namun kedua sistem penanggalan itu jelas berbeda.Tahun baru Masehi berdasarkan perhitungan semu matahari (syamsiah) mengelilingi bumi, sedangkan tahun baru Islam menggunakan acuan bulan (qomariah).Kalender Islam yang dimulai dengan bulan Muharam itu ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam.

Dibandingkan dengan sistem penanggalan masehi yang berdasarkan hitungan pergerakan matahari, kalender bulan ini memiliki sistem yang lebih mudah diamati.Kemudahan itu dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tangggal dari perubahan bentuk dan fase bulan.

Menurut anggota Islamic Crescent's Observation Project (ICOP), Mutoha, dalam perjalanannya mengelilingi bumi, fase bulan akan berubah dari bulan mati ke bulan sabit, bulan separuh, bulan lebih separuh, purnama, bulan separuh, bulan sabit, dan kembali ke bulan mati. Satu periode dari bulan mati ke bulan mati, lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari); periode itu disebut dengan satu bulan. Panjang tahun dalam kalender bulan adalah 12 bulan (12 x 29.5306 hari), yakni 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik (354,3672 hari).

Kalender bulan tertua yang diketahui berusia 17 ribu tahun dengan bukti keberadaan kalender ini terpahat di dinding Gua Lascaux, Perancis, ujarnya.Sedangkan kalender matahari menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Kalender ini menggunakan matahari sebagai patokan. Satu tahun terdiri atas 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik (365,422 hari) atau lamanya waktu yang diperlukan bumi untuk mengelilingi matahari.

Kelebihan kalender ini adalah, kesesuaiannya dengan musim, ia mencontohkan Indonesia, yang biasa mengalami musim kemarau antara bulan April hingga Oktober. Karenanya, kalender ini digunakan sebagai pedoman beraktivitas sehari-hari seperti bercocok tanam atau menangkap ikan.Namun berbeda dengan kalender matahari, dengan kalender bulan, orang awam bahkan bisa menentukan kapan pergantian bulan sehingga sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan.

Menurut Pakar Astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin, karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah.

Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah)."Bahkan seandainya cuaca buruk sehingga sulit melihat bulan, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari," katanya.

Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda, tambahnya.

Membingungkan
Menurut dia, penentuan awal bulan yang saat ini sering membingungkan hanyalah merupakan akibat perkembangan zaman. Faktor-faktor penyebab kerumitan itu antara lain, tuntutan penyeragam waktu ibadah untuk daerah yang luas.

"Bahkan ada pula yang menuntut penyeragaman yang sifatnya mendunia tanpa menyadari bahwa banyak kendala yang dengan teknologi maju saat ini belum bisa teratasi," katanya.

Ia mengatakan, rukyatul hilal (pengamatan hilal) saat ini tidak murni lagi, di mana hisab (perhitungan) secara tak sadar telah mendominasi sebagian besar pengamat, meski hisab yang mereka gunakan banyak yang tidak akurat.Selain itu, urainya, tidak banyak lagi orang yang mengenali hilal, terutama di kota-kota besar, sehingga kemungkinan keliru mengidentifikasi objek lain sebagai hilal lebih mungkin terjadi.

Polusi atmosfer seperti debu dan cahaya mempersulit pengamatan hilal karena bersifat meredupkan, tambahnya. Kerumitan itu sebenarnya menurut Djamal, bisa sedikit diatasi dengan memanfaatkan data posisi hilal yang akurat dari almanak astronomi mutakhir yang merupakan hasil penyempurnaan almanak astronomi sepanjang sejarah perkembangannya.

Akurasi almanak astronomi dalam penentuan ijtima' (astronomical new moon) kini telah teruji pada ketepatan perhitungan waktu gerhana matahari yang pada hakikatnya adalah ijtima' teramati (observable new moon). Setidaknya informasi posisi hilal yang akurat bisa mencegah terjadinya kesalahan identifikasi hilal, ujarnya.

Kalau data almanak astronomi tentang posisi hilal sudah bisa diterima secara luas, menurut Djamal, berarti tinggal satu langkah lagi dalam mengatasi kerumitan itu, yakni menentukan kriteria visibilitas hilal. "Inilah bagian tersulit, tetapi telah dimulai oleh IICP (International Islamic Calendar Programme) di Malaysia yang dipimpin Mohammad Ilyas," katanya.

Dalam prakteknya, kriteria visibilitas hilal belum banyak dipakai, menurut dia, mungkin karena belum memasyarakat.

Kriteria utama yang banyak di pakai, lanjut dia, adalah bulan sudah di atas ufuk yang pada hakikatnya syarat wujudul hilal.

"Menurut data Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI hilal dengan ketinggian 2 derajat berhasil di ru'yat. Itu berarti beda waktu terbenam hanya sekitar 8 menit, jauh di bawah ambang batas kriteria visibilitas hilal," ujarnya.

Karena itu, semua pihak perlu berlapang dada untuk berdiskusi mencari acuan yang paling sahih di antara data dan metode yang kini ada di masyarakat.

Bila semua ahli hisab telah mengacu pada almanak astronomi, lanjut dia, satu langkah lagi adalah menyepakati kriteria visibilitas hilal.Kriteria IICP yang memberikan syarat batas visibilitas hilal: beda waktu terbenam matahari dan bulan lebih dari 40 menit di daerah tropik, ia mengusulkan, sangat baik diterapkan di Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk mengatasi kerumitan. (Dewanti lestari)


Selasa, 09 Februari 2010

WHY DID POPE JOHN PAUL II KISS THE KORAN?

Posted by video download On 15.51

Roman Catholic Blog.com wrote this;
Speaking of Islam, James Akin has a good article on the infamous Pope John Paull II Koran kissing incident:

A reader writes;

I had never heard you address this on your show or Blog – though I’m certain you are familiar with it and have covered it before. But what gives about the story of JPII kissing the Koran?! I’ve seen it mentioned enough times by serious Catholics to accept this must have happened. However, I don’t know the context of this event or any other details so I can only wonder what our late Holy Father might have been thinking… Your thoughts?

This question has come up over the years, and I know that I've addressed it on the show (though I don't have the faintest idea in what episodes), but I don't seem to have done so on the blog, so here goes. . . .

First, I've reprinted the famous picture of the event above so that people can see what is being talked about. Based on the picture alone, I would not be sure what is happening. The book is ornate and could be something other than the Quran. From the looks of it, it could be a book of the gospels. However, the former Chaldean patriarch--Raphael Bidawid--was present at the meeting where the event occurred, and in an interview with the press service FIDES, he said the following:
On May 14th I was received by the Pope, together with a delegation composed of the Shi'ite imam of Khadum mosque and the Sunni president of the council of administration of the Iraqi Islamic Bank. There was also a representative of the Iraqi ministry of religion. I renewed our invitation to the Pope, because his visit would be for us a grace from heaven. It would confirm the faith of Christians and prove the Pope's love for the whole of humanity in a country which is mainly Muslim.

At the end of the audience the Pope bowed to the Muslim holy book, the Qu'ran, presented to him by the delegation, and he kissed it as a sign of respect. The photo of that gesture has been shown repeatedly on Iraqi television and it demonstrates that the Pope is not only aware of the suffering of the Iraqi people, he has also great respect for Islam [SOURCE].
What, then, is one to make of the event?
It seems that there are a number of possibilities:
1) The FIDES news agency misquoted the patriarch.
2) Patriarch Bidawid was mistaken about what happened. It was not the Quran but something else.
3) John Paul II kissed the Quran but didn't know the nature of the book he was kissing.
4) John Paul II kissed the Quran and knew that this is what he was doing.
I would love to think that either option (1), (2), or (3) was the case, but I have no evidence that any of them was the case.The most likely one of the three, to my mind, would be (3), because so far as I know, John Paul II was not an Arabic speaker and may not have understood the nature of the book that he was being presented with.

People shove all kinds of books into the pope's hands at audiences, and if the pope was under the impression that the thing to do with a gift in Iraqi culture is to kiss it as a sign of respect to the one who gives the gift then he might have kissed it reflexively, not even understanding the nature of the book.

While this is possible, I think it likely that an interpreter explained the nature of the gift that was being given on this occasion. This still leaves the possibility that the pope kissed it as part of Middle Eastern politeness rather than as a gesture of respect for the book itself.

I have heard claims that in some Middle Eastern cultures that this is a typical gesture of respect for one giving a gift, but I have asked Chaldean friends of mine whether this is the case in Iraqi culture and the answer was a definite "No." "The pope put his foot on the neck of all Chaldeans with this action" was the response I was given. (Just to make things clear, putting your foot on the neck of someone is a bad thing in Iraqi culture.)

Still, the pope may have been under the mistaken impression that this was the appropriate thing to do when receiving a gift in their culture. He can't be an expert on every culture in the world, and he could get this wrong. Or maybe he didn't.

Maybe he knew it was the Quran and kissed it anyway, not as a customary gift giving response, but for some other reason.

What might that reason be?
It certainly wouldn't be that he believes in Islam or believes that Islam is on a par with Christianity. If he believed either of these two things then he (a) wouldn't be the earthly head of the Christian faith and (b) wouldn't have approved the publication of Dominus Iesus, which asserts the salvific universality of Jesus Christ and the Church.

Any attempt to represent him as thinking one of those things doesn't even get out of the gate.
So what might he have been thinking?

We're only speculating here, but two things spring to mind as what JP2 might have been thinking:
1) The Quran does contain some elements of truth (as well as grave elements of falsehood) and he might have wanted to honor the elements of truth it contains.
2) Showing respect in this way could foster world peace and interreligious harmony.
Of these two, I would conjecture that the latter would have been uppermost in John Paul II's mind, though the former may not have been absent.
John Paul II was a man who was enormously concerned with world peace and interreligious harmony. As a young man he lived through the horrors of World War II, which had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace.

As a mature man he lived through the Cold War that repeatedly brought the world to the brink of nuclear disaster, and this also had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace. The constant threat of nuclear warfare hung particularly heavily over Europe--which would have been the chief battleground in a conflict between the Soviet Union and the West--and (particularly on the heels of WWII) it deeply impressed the "find peace at any cost" message on his generation.

As a result of the Cold War, the nations of western Europe were forced into an alliance (NATO) whereby their centuries-long enmities (as between France and Germany) had to be suppressed for the sake of common survival. Negotiation became the key to survival in western Europe, and the same message was driven home to those in Eastern bloc countries, such as John Paul II's native Poland.

By letting the US shoulder the main burden for the military defense of Europe (during and after the Cold War), many Europeans of John Paul II's generation absorbed the idea that negotiation was paramount and could solve virtually any problem. It wasn't until the events of the Global War On Terror that this idea began to be seriously called into question many in European circles.

As a result, as a man of his generation, John Paul II--for the best of motives--may have overestimated both the need for and the utility of gestures such as the one exhibited in the Quran-kissing event.

If the former pontiff did understand that the gift was a Quran and if he wasn't under the impression that kissing a gift was a standard response in Iraqi culture then I would suppose that he did so out of a desire to foster peace and interreligious harmony, but it would still have been a mistake to my mind.

The Quran, whatever elements of truth it contains, also contains venomous attacks on the divinity of Christ and on Christian doctrine and these make it inappropriate for the Vicar of Christ to kiss it under any circumstances.

John Paul II also may not have been attending to the gravity of the false elements in the Quran. Even if he knew them, he may not have been thinking about them and may have acted on the spur of the moment, without fully thinking through his action.

Fortunately, the infallibility of the pope and the indefectibility of the Church do not extend to such actions. A pope is not attempting to make anything remotely like a dogmatic definition in an act of this nature. And so, however misguided the action may have been and however good the motives for it may have been, it would constitute an error that does not touch upon papal infallibility or ecclesial indefectibility.

It would be one of the mistakes that all fallen humans are heir to, even the vicars of Christ.


Feedback
to Romance Catholic Blog
to Jimmy Akin Org.



Sabtu, 02 Januari 2010

POPE URGED TO LEAD CATHOLIC - MUSLIM DIALOGUE

Posted by video download On 04.25

Joseph Ratzinger/Benedict XVI receives a copy of the Koran. He's all smiles, isn't he? (John Paul II Cultural Center, Washington, D.C., April 17, 2008.) He received another copy of what he called this "dear document" a few weeks later in the Vatican.

WASHINGTON (AFP)

At a meeting with the representatives of five faiths, U.S. Muslim leaders said they urged Pope Benedict XVI to help establish a permanent dialogue between the two faiths.

"I told the pope: 'I met you two years ago at the Vatican and asked you then to lead efforts to establish permanent dialogue with Muslims,'" Imam Hassan Al-Qazwini, the religious director of the Islamic Center of America said at an impromptu news conference after meeting the pope.

"I repeated that call today. Muslims and Catholics form over 50 percent of the world's population and we are in desperate need of dialogue," he said.

Muzammil Siddiqi, chairman of the Islamic Law Council of North America, said he had also called for more dialogue with the Church, and urged the pope to use his influence to "bring stability to Lebanon."

"He said he would do his best," Siddiqi said.

Benedict met with leaders of the Buddhist, Hindu, Jain, Jewish and Muslim faiths at an inter-religious meeting at the John Paul II Inter-cultural Center in Washington.

"Today in classrooms throughout the country, young Christians, Jews, Muslims, Hindus, Buddhists and indeed children of all religions sit side by side, learning with and from one another," he told them.

"May others take heart from your experience, realizing that a united society can indeed arise from a plurality of peoples, provided that all recognize religious liberty as a basic civil right."

Benedict began a six-day visit to the United States on Tuesday. On Wednesday he became the first pope in 30 years to visit the White House, where he and President George W. Bush discussed the plight of Christians in war-torn Iraq, among other issues.

As published by worldwide media | 18 April 2008
For more reading in English, please click here

Jumat, 06 Maret 2009

PESAN UNTUK INDONESIA

Posted by video download On 21.56

Oleh: Harun Yahya
Pemerintahan Indonesia mewakili sebuah negeri Muslim taat yang menghargai Islam dan memahami serta menerapkan nilai-nilai ajaran mulianya. Sungguh jelas bahwa kepala negara Indonesia dan rakyatnya berbagi nilai-nilai kebaikan yang sama dan memiliki penghargaan istimewa terhadap Islam, dan karenanya merupakan bangsa yang terpuji.

Persengketaan dan perpecahan yang secara khusus ditujukan terhadap masyarakat yang menaati dan menghargai Islam adalah buah dari kekacauan, teror dan rasa permusuhan yang sengaja dibuat oleh pola pikir materialis dan Darwinis agar timbul di dalam masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di mana pun di dunia ini, kekuatan berpaham Darwinis, Marxis dan ateis ini mengira bahwa mereka dapat mengadu domba saudara-saudari kita sesama Muslim yang tulus di Indonesia agar saling baku hantam melalui perselisihan dan tipu daya. Mereka berupaya menanamkan kemarahan dan kekerasan di antara kaum Muslim dengan menimbulkan persengketaan yang sengaja dibuat.

Di sebuah negeri yang dihuni oleh orang-orang saleh yang menghormati Islam, segala bentuk pemberontakan yang sengaja dimunculkan melawan negara yang dipicu akibat pengaruh kekuatan-kekuatan ini beserta pola pikir Darwinis, Marxis dan ateis mereka akan melukai kedua belah pihak dan menyebabkan timbulnya peperangan yang tidak perlu. Untuk menghindari dan menghapuskan hasutan kekuatan Darwinis, materialis ini yang tujuannya adalah merusak persatuan dan kesatuan negara serta memecah belah bangsa mereka melalui separatisme, dan mempertahankan agar kedamaian, kesejahteraan dan keamanan meliputi negeri itu, masyarakat wajib dididik untuk memerangi pola pikir Darwinisme, materialisme, Marxisme dan Leninisme, ateisme, Zionisme ateis, Freemasonry dan imperialisme. Pendidikan intelektual dan budaya seperti itu sama sekali tidak bisa diabaikan.

Itulah mengapa sedemikian penting untuk mendorong rakyat Indonesia menyebarkan nilai-nilai ajaran yang baik dan mengembangkan kegiatan-kegiatan bersifat budaya dalam rangka menghapus makar Darwinis dan ateis terhadap negeri-negeri Muslim. Caranya bisa memanfaatkan sarana teknologi dalam rangka menjelaskan kepada masyarakat bahwa pola pikir Darwinis bertumpu pada landasan berpijak yang keliru dan rapuh.

Islam dan Al-Quran dapat dijelaskan ke lebih banyak orang, beserta seruan agar menjalankan nilai-nilai akhlak baik, melalui penyampaian tulisan dan lisan dan dengan membuat situs-situs internet baru.

Melalui cara ini, orang semakin mampu mengokohkan rasa cinta kepada Allah dalam hati mereka dan dengan demikian memperlakukan satu sama lain dengan rasa kasih sayang dan tenggang rasa.

Mereka dapat dididik untuk mencegah malapetaka akibat Darwinisme serta semua persengketaan dan keruntuhan akhlak yang ditimbulkannya. Sekali mereka telah mengenal keindahan nilai-nilai akhlak Islami, mereka akan lebih mencintai satu sama lain. Ketika tabiat kebohongan Darwinisme dan materialisme diungkap dan dijelaskan kepada mereka, maka sirnalah pembenaran akal bagi permusuhan dan perselisihan yang sengaja dimunculkan; kekacauan dan perselisihan akan kehilangan semua maknanya dan mulai tampak sama sekali tidak masuk akal. Persengketaan yang sengaja dibuat pasti mustahil muncul dalam lingkungan seperti itu.

Dunia Islam memerlukan persatuan dan kesatuan, persahabatan, kedamaian dan akhlak mulia yang dikehendaki oleh nilai-nilai ajaran Islam. Dengan mewujudkan hal ini melalui kegiatan intelektual dan budaya, masyarakat Indonesia dapat memimpin gerakan penting ini dan menjadi teladan sangat baik bagi dunia selebihnya.

Harun Yahya adalah penulis "Atlas Penciptaan" dikenal sebagai tokoh pembongkar teori evolusi. Tulisan ini dikirim untuk www.hidayatullah.com

Entri Populer