KREARIFINDO Creative Solution

PhotobucketPhotobucket PhotobucketPhotobucket

Tampilkan postingan dengan label fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqh. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 September 2011

PUASA ENAM HARI PADA BULAN SYAWAL

Posted by video download On 23.53

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” [Hadits Hasan Shahih, Riwayat Tirmidzi].

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan;

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” [HR. Bukhari: 6502]

Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan (disunnahkan) setelah berpuasa di bulan Ramadhan adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa.

Dari Abu Ayyub Al Anshari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim no. 1164].

Dari Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” [HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Shahih Muslim 8/138,

“Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Idul Fitri

Puasa Syawal dilakukan setelah Idul Fitri, tidak boleh dilakukan di hari raya Idul Fitri. Hal ini berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab, beliau berkata;

“Ini adalah dua hari raya yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Idul Fitri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” [Muttafaq ‘alaih]

Apakah Harus Berurutan?

Imam Nawawi rahimahullah menjawab dalam Syarh Shahih Muslim 8/328:

“Afdhalnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”.

Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal shalih. Sebagaimana Allah berfirman,

“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48).

Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Idul Fitri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qadha

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qadha) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qadha’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Lathiiful Ma’arif,

“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, hendaklah ia mendahulukan qadhanya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qadha) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”.

Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bish shawab.


[DariMuhammad Abduh Tuasikal - muslim.or.id]


Selasa, 15 Februari 2011

TAHLILAN DAN TA'ZIYAH MENURUT ISLAM

Posted by video download On 17.32

Sudah menjadi tradisi di kalangan Umat Islam Indonesia, bila seseorang muslim wafat, maka keluarga yang ditinggalkan akan menyelenggarakan tahlilan yang biasanya dihadiri oleh para kerabat, keluarga, tetangga dan handai taulan.

Setelah tahlil, biasanya acara dilanjutkan dengan ta'ziah. Dalam ta’ziah ini, biasanya pula seringkali diisi dengan ceramah agama. Tujuannya, di samping untuk menghibur keluarga yang sedang berduka, sekaligus juga untuk menyampaikan da'wah atau siraman rohani bagi yang hadir dalam majelis ta’ziah tersebut.

Namun karena dalam prakteknya ada dua pendapat besar yang saling berselisih mengenai tahlilan dan ta'ziah ini, maka kemudian muncullah permasalahan. Bagaimanakah sesungguhnya syariat Islam menyikapi tahlilan dan ta’ziah? Di manakah letak perbedaan yang selama ini diperselisihkan itu?

Semoga uraian berikut dapat menambah tsaqafah (wawasan) kita dalam menyikapi pertentangan ini, dan di atas semua itu, semoga pula pelajaran yang dapat dipetik darinya semakin menguatkan pemahaman kita tentang ajaran Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam tentang Islam untuk kemudian menjadi cermin perilaku sehari-hari kita selaku umat muslim. Amin!

  • TAHLILAN
Pengertian Tahlil
Dari sisi etimologi, kata tahlil memiliki arti mengucapkan laailaahaillallah. Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Perbaharuilah imanmu! Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman? Beliau menjawab, "Perbanyaklah tahlil!"

Merujuk pada hadits ini, maka tahlil mengandung pengertian; mengucapkan kalimat laailahaillallah (tiada Ilah selain Allah). Demikian disebutkan dalam kamus kontemporer. Kata tahlil termasuk dalam beberapa kata yang telah dibakukan untuk satu ucapan tertentu. Kata tahlil serumpun dengan kata Tahmid; mengucapkan alhamdulillah, tasbih; subhanallah, hamdalah; alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dan sebagainya.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual dzikir, khususnya ketika ada seorang muslim yang meninggal dunia. Persoalan selanjutnya adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah Islam memperbolehkan tahlilan atau tidak?

  • PENDAPAT ULAMA MENGENAI TAHLILAN
Pada hakikatnya permasalahan tahlilan merupakan salahsatu ritual agama yang masih diperdebatkan oleh ulama sejak dulu hingga saat ini. Adapun titik krusial yang menjadi inti perbedaan tersebut terletak pada pertanyaan berikut:

  1. Apakah doa, bacaan istighfar untuk mayit, dan bacaan Al-Quran dari orang hidup yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dapat memberi manfaat bagi si mayit atau tidak?
  2. Apakah tahlilan - dalam bentuk yang kita kenal selama ini - disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah membagi bentuk amal perbuatan manusia menjadi dua bagian. Pertama, amal badaniyyah. Yaitu, amal yang dipraktekkan langsung oleh fisik manusia, seperti shalat, puasa dan dzikir. Kedua, amal maliyyah. Yaitu, amal dalam bentuk materi dan harta, seperti sedekah dan infaq.

Berangkat dari dua pendapat Imam Ibnul Qayyim di atas, para ulama pun kemudian berbeda pendapat tentang tahlilan sebagaimana tersebut di bawah ini:

  • PENDAPAT PERTAMA
Ritual tahlil bukan termasuk sesuatu yang dianjurkan agama, dan memohonkan ampun serta menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati tidak berpengaruh sedikit pun bagi sang mayit. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa dalil seperti berikut:

Firman Allah Subhanahu Wata'ala:

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
"Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm[53]: 38-39)

فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَلا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Yaasiin[36]:54)

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Tiga ayat di atas merupakan kalimullah, bahwa orang yang telah mati tidak berkesempatan lagi memperoleh tambahan pahala yang dapat menyelematkannya dari siksa kubur di akhirat, kecuali yang disebutkan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dalam hadits riwayat Imam Muslim:

  • "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: (1) sedekah jariyah, (2) Doa anak shalih, (3) Ilmu yang bermanfaat sesudahnya."
  • "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tidak diterima."

Hadits pertama menyebutkan, hanya ada tiga perkara yang akan mendatangkan manfaat bagi si mayit. Dari tiga perkara itu tidak ada satupun yang mengisyaratkan adanya tahlil, atau membolehkan tahlilan.

Hadits kedua lebih tegas lagi, bahwa segala perbuatan yang tidak dicontohkan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam adalah perbuatan bid’ah. Berdasarkan hadits kedua ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa tahlilan bertentangan dengan Syariat karena tidak sesuai dengan enam hal yang mereka sepakati bersama. Keenam hal tersebut adalah: (1) sebab atau illat, (2) jenis, (3) kadar atau bilangan, (4) waktu, (5) tata cara atau kaifiyah, dan (6) tempat.

Karena itu jelaslah bahwa semua pahala amal ibadah manusia yang masih hidup tidak dapat dihadiakan kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan pahala yang diniatkan untuk dihadiahkan kepada si mayit tidak akan pernah sampai, dan tidak akan memberi manfaat sedikit pun bagi si mayit. Hal ini berlaku untuk seluruh aspek amal kebaikan, baik itu amal badaniyah atau maliyyah, kecuali tiga hal yang mendapat pengecualian sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim di atas.

  • PENDAPAT KEDUA
Antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah harus dibedakan. Pahala ibadah maliyyah seperti sedekah dan infak akan sampai kepada mayit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Al-Quran, tidak ada pengaruhnya bagi sang mayit. Dengan kata lain pahalanya tidak akan sampai kepada mayit. Pendapat ini paling masyhur di kalangan mazhab Syafi’i dan Maliki. Mereka ber-hujjah, bahwa ibadah badaniyah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Sama halnya ketika si mayit sendiri masih hidup, ia tidak akan bisa mewakili kewajiban shalat orang lain yang juga masih hidup. Sebab ibadahnya tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam:

لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
"Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggugurkan kewajiban shalat orang lain, dan tidak pula melakukan puasa untuk menggantikan puasa orang lain, tetapi hendaklah ia memberi makan untuk satu hari sebanyak satu mug gandum."

  • PENDAPAT KETIGA
Doa dan juga ibadah yang diniatkan untuk mayit, baik dalam bentuk maliyah atau pun badaniyah, sangat bermanfaat bagi mayit berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pertama: Dalil Al-Quran

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata'ala menyanjung orang beriman, karena mereka memohonkan ampun (istigfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan, bahwa orang yang telah meninggal mendapat manfaat dari istigfar orang yang masih hidup.

Kedua: Dalil Hadits

Dalam hadits, banyak diajarkan doa-doa yang dibaca untuk jenazah seperti doa yang ditujukan untuk mayit setelah ia dikubur, doa ziarah kubur, dan doa saat menshalati jenazah seperti sabda Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam:

"Auf bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam setelah selesai shalat jenazah berucap: "Ya Allah, ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air salju dan air embun, bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, berilah ia tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya di dunia, beri juga keluarga yang lebih baik dari keluarganya yang di dunia, juga pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka".

Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa sedekah yang diniatkan untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Redaksi hadits tersebut adalah,

"Abdullah bin Abbas r.a. berkata: "Suatu ketika ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia ketika Saad tidak berada ditempat. Lalu, ia datang kepada Nabi dan bertanya, "Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat saya tidak mendampinginya, jika saya bersedekah dengan niat pahalanya buat beliau, akan sampaikah pahala itu kepada ibu saya? Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam menjawab: "Ya!" Saad berkata lagi, "Saksikanlah, bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan di jalan Allah, agar pahalanya dipetik oleh ibuku."

Ketiga: Dalil Ijma’

  1. Jumhur ulama sepakat, bahwa doa yang dibaca dalam shalat jenazah, sangat bermanfaat bagi mayit. Artinya, bila ia seorang pendosa, maka doa tersebut dapat meringankan siksanya, baik dalam kubur maupun di akhirat kelak.
  2. Utang mayit dianggap lunas bila dibayar orang lain, sekalipun bukan keluarganya. Berdasarkan hadits Abu Qatadah, ketika ia menjamin akan membayar hutang seorang mayit sebanyak dua dinar. Setelah ia tunaikan utang itu Nabi Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:
أَلآنَ بَرَدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَتَهُ
"Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya".

Pendapat ini dikuatkan pula oleh seorang pakar fiqih mahzab Hanbali, yaitu Syekh Abdullah bin Muhamad bin Humaid - rahimahullah -. Dalam kitab beliau berjudul "Gayatul Maqsud" beliau membahas secara khusus masalah ini. Beliau mengatakan;

"Bahwa seluruh ulama dari berbagai mazhab menyetujui pendapat ini. Yaitu, pahala yang diniatkan kepada mayit akan sampai padanya. Bahkan semua bentuk amal shaleh yang dilakukan orang yang hidup, lalu menghadiahkannya kepada mayit, seperti haji, sedekah, binatang korban, umrah, bacaan Al-Quran serta tahlil, takbir dan shalawat pada Nabi tidak diragukan lagi, akan sampai pada mayit."

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa nashush fiqhiyyah dari berbagai mazhab, menyangkut masalah tahlil:

MAZHAB HANAFI
Usman bin Ali Az-Zaila’i dalam kitabnya ‘Kanzu Daqaiq’ menjelaskan dalam bab alhajju ‘an ghairihi sebagai berikut:
"Pada dasarnya, manusia memiliki hak untuk mentransfer pahala perbuatannya pada orang lain. Sebagaimana diakui oleh penganut ahli sunnah wal jama’ah, baik itu shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, dzikir dan lain sebagainya. Pendeknya, semua bentuk amal kebajikan. Dan seluruh pahalanya akan sampai kepada mayit bahkan dapat memberi manfaat bagi mayit."

Pendapat ini disetujui oleh Imam Al-Marginani pada awal bab al-hajju ‘anilghair (menghajikan orang lain).

MAZHAB MALIKI
Al-Qadhi ‘Iyadh ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim yang berbunyi;

"Mudah-mudahan kedua pelepah korma ini dapat meringankan azab orang yang baru saja dikubur selama pelepah korma ini masih basah."

Dari hadist ini, para ulama berkesimpulan bahwa bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk mayit hukumnya Sunah. Sebab bila pelepah korma saja dapat meringankan azab sang mayit, apatah lagi bacaan ayat Al-Quran? Tentu lebih utama dari pelepah korma. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dan Syekh Ibnul Haj.

MAZHAB SYAFI'I
Imam Nawawi berkata;

"Disunahkan bagi orang yang menziarahi kubur untuk menyalami penduduk kubur yang diziarahi dan mendoakan mereka. Lebih afdhal lagi bila doa yang dibaca sesuai dengan yang pernah dibaca Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Demikian juga, disunahkan membaca Al-Quran untuk penghuni kubur, lalu disambung langsung dengan bacaan doa bagi keselamatan mereka."

MAZHAB HANBALI
Imam Ibnu Qudamah berkata;

"Segala bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan pahala dan diniatkan untuk sang mayit muslim, insya Allah, dapat ia petik hasilnya. Apalagi doa, istigfar, sedekah dan hal-hal wajib yang memang harus ditunaikan. Para ulama sepakat, hal itu pasti dirasakan manfaatnya oleh sang mayit."

Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fatuhi dan Syaikh Mansur Al-Bahuti.

  • TENTANG MENYEDIAKAN MAKANAN
Dalam ritual tahlilan, biasanya keluarga mayit menyediakan makanan untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir dalam acara tersebut. Mereka meniatkan suguhan itu sebagai sedekah. Padahal, Nabi Salallahu Alaihi Wassalam justru memerintahkan para tetangga atau karib kerabat keluarga yang berdukalah yang mengulurkan bantuan. Baik itu berupa makanan atau apa saja guna meringankan beban sekaligus menghibur mereka. Karenanya ungkapan rasa belasungkawa pun mereka tunjukkan dengan membawa sesuatu untuk melancarkan prosesi penguburan jenazah. Di antaranya adalahdengan membawa makanan bagi keluarga yang dilanda musibah.

Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ جَعْفَرَ قَالَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرَ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ ": اصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه الشافعي وأحمد).

"Abdullah bin Ja’far berkata: "Tatkala datang berita bahwa Ja’far telah terbunuh, Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Karena telah datang kepada mereka hal yang menyibukkan mereka." (HR. Asy-Syafi’i dan Ahmad).

Karena itu, sepatutnya yang menyediakan makanan bagi keluarga yang dilanda musibah adalah tetangganya. Bukan keluarga si mayit yang sudah tertimpa musibah, masih pula harus menyediakan makanan bagi kerabat dan handai taulan yang datang berta'ziah.

Adapun pendapat lain yang memperbolehkan keluarga si mayit menyediakan makan bagi para penta’ziah di saat tahlilan merujuk pada hadits yang menganjurkan supaya mereka bersedekah dengan niat agar si matiy mendapatkan pahalanya. Dengan demikian pahala menjamu penta'ziah saat tahlilan semata-mata dimaksudkan untuk dihadiahkan bagi si mayit.

Akan tetapi perlu kiranya diingat bahwa memberi makan para penta'ziah dalam kondisi duka seperti ini bukan merupakan hal yang wajib. Oleh karenanya, jangan sampai keluarga yang berduka memaksakan diri menjamu tamu. Apalagi sampai berhutang demi memenuhi kebutuhan jamuan tersebut, atau lebih mendahulukan jamuan daripada hal-hal lain yang sifarnya wajib, semisal menunaikan wasiat dan melunasi hutang-hutang si mayit.

  • TENTANG TA'ZIAH
Sebenarnya, sejak dulu ta’ziyah sudah sering dibahas ulama fiqih. Dalam literatur fiqih, bahasan ta’ziyah masuk kategori bab ibadah. Ta’ziyah tidak dapat dipisah dari permasalahan jenazah, atau ketika para ulama membahas hukum mengunjungi orang sedang sakaratulmaut atau meninggal dunia. Termasuk di dalamnya hukum memandikan mayit, mengkafankan, menguburkan sampai menshalatinya. Maka ta’ziyah, tentu saja, tidak akan luput dari perbincangan ulama. Ia ibarat ungkapan belasungkawa seseorang sebagai ekspresi dari rasa solidaritas terhadap musibah yang menimpa saudaranya.

  • PENGERTIAN TA'ZIAH
Menurut bahasa, ta’ziyah bersumber dari akar kata ‘azza. Artinya, menghimbau agar bersabar, atau membantu melapangkan dada seseorang yang sedang ditimpa musibah. Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi ulama. Akan teapi semuanya tidak keluar dari makna lugawi di atas. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Syarbini al-Khatib menjelaskan, bahwa ta’ziyah adalah:

"Menasehati orang yang berduka cita untuk tetap sabar. Mengingatkan ganjaran yang dijanjikan bagi orang sabar dan kerugian bagi orang yang tidak sabar. Memohonkan ampunan kepada si mayit, agar tegar menghadapi musibah."

Imam Nawawi berkata:

"Ta’ziyah adalah menyabarkan, dengan wasilah apa saja yang dapat menyenangkan perasaan keluarga mayit, dan meringankan kesedihannya."

Imam Al-bahuti Al-Hanbali, menyebutkan:

"Ta’ziyah adalah menghibur dan memberi semangat kepada orang yang ditimpa musibah agar tetap sabar. Mendoakan si mayit bila ia seorang muslim atau muslimah."

Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ta’ziyah adalah:

"Menghibur keluarga mayit dan membantu tunaikan hak mereka, serta senantiasa berada di dekat mereka."

  • HUKUM TA'ZIAH
Para fuqaha sepakat bahwa hukum ta’ziyah hanyalah sunnah. Tidak ada seorang pun memperselisihkan hal ini. Di bawah ini beberapa kutipan ringkas pendapat mereka:

Ad-Dardiri: "Disunatkan ta’ziyah untuk keluarga mayit."

Ibnu ‘Abidi: "Disunatkan ta’ziyah bagi siapa saja. Untuk perempuan tentu bagi yang tidak menimbulkan fitnah."

An-Nawawi: "Imam Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat bahwa ta’ziyah hukumnya sunnah."

Ibnu Qudamah: "Disunatkan untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit. Sejauh ini, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini, hanya saja Imam Tsauri membatasi hukum sunnah di sini sebelum dikuburkan. Setelah penguburan selesai ta’ziah tidak dianjurkan lagi, karena segala urusan yang berhubungan dengan mayit telah selesai."

Al-Wazir bin Habirah: "Semua ulama sepakat, bahwa hukum ta’ziyah adalah sunnah."

Dari pernyataan ulama-ulama berbagai mazhab di atas maka jelaslah bahwa hukum ta’ziyah hanya sunat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan wajib, atau sebaliknya, bahwa ta’ziyah tidak boleh. Kendati demikian, ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa ta’ziyah itu masyru’ seperti di antaranya:

"Sesungguhnya Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Barang siapa menghibur saudaranya yang seiman kala ditimpa musibah, maka Allah akan mengenakan ia sebuah pakaian berhias dengan warna hijau menyenangkan di hari kiamat kelak. Sahabat bertanya, ya Rasulullah, apakah yang menyenangkan itu? Dijawab oleh Rasulullah, yaitu sesuatu yang membuat orang iri padanya." [HR Anas r.a]

"Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Barang siapa menghibur saudaranya yang ditimpa musibah, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang ditimpa musibah tersebut." [HR Abdullah bin Mas’ud r.a]

"Sesungguhnya Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "barang siapa menghibur wanita yang kehilangan anaknya (wafat), maka Allah akan memakaikannya pakaian kebesaran di dalam surga." [HR Abu Bazrah r.a]

  • HIKMAH TA'ZIAH
Tentu saja ta’ziyah memiliki hikmah yang dalam sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Bahkan hikmah yang terkandung di dalamnya amat banyak, baik yang tampak maupun yang tersirat. Karena itu, sebagian ulama menjabarkan hikmah yang dikandung dalam ta’ziyah. Di antaranya adalah penjelasan Al-Shawi Al-Maliki yang dinukil dari Ibnu Qasim bahwa sesungguhnya ta’ziyah memiliki tiga hikmah besar.

Pertama: memberikan kemudahan dan jalan keluar kepada keluarga mayit. Menghibur mereka agar tetap tabah dan teguh hati dalam bersabar. Mengingatkan pahala sabar. Dan ridha atas ketentuan Allah dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya semata.

Kedua: berdoa agar Allah Subhanahu Wata'ala mengganti musibah tersebut dengan ganjaran pahala yang (sangat) besar.

Ketiga: mendoakan dan memohonkan ampun bagi si mayit agar Allah Subhanahu Wata'ala senantiasa mengasihinya.

Selain ketiga hikmah di atas, Ibnu Qasim menambahkan hikmah lain dari ta'ziah sebagai berikut:

Momentum bagi keluarga si mayit untuk mengingat dan berbuat amal kebajikan serta senantiasa mengingat Allah Subhanahu Wata'ala. Menyadari bahwa kematian dapat menjemput kapan saja, dan di mana saja. Sebab, sesungguhnya kematian itu amatlah dekat dengan manusia. Maka hendaknya setiap anggota keluarga yang ditinggalkan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menyongsong kematian yang akan datang kapan saja. Agar dengan demikian, saat dirinya menghadap Allah Subhanahu Wata'ala kelak, maka seluruh jiwa dan raganya sudah dalam keadaan ridha dan Insya Allah, mendapat ridha dari Allah Subhanahu Wata'ala pula. Di samping itu, ta'ziah dapat pula mencegah keluarga si mayit dari perilaku maksiat yang dimurkai Allah Subhanahu Wata'ala setelah kematiannya.

  • KESIMPULAN
Ditinjau dari aspek membaca ayat-ayat Al-Quran, tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat, doa dll, maka kesemuanya sangat dianjurkan oleh Islam untuk dilaksanakan. Bacaan Al-Quran, tasbih, istigfar dan amalan-amalan lain yang dihadiahkan kepada si mayit pun, Insya Allah, akan sampai pahalanya sebagaimana yang diniatkan. Demikian pula dengan menyediakan makan dan melaksanakan ta'ziah.

Pembaca dapat menelaah kembali pendapat-pendapat ulama di atas melalui bebagai literatur bebas dari ensiklopedi hukum Islam yang ada. Tulisan ini hanya stimulan awal, untuk kemudian dikaji lebih luas dan mendalam pada kesempatan lain.

Demikanlah uraian singkat ini disampaikan dengan harapan semoga dapat memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam. Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, mudah-mudahan kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah.
Amin ya Rabbal ‘Alamin!


[Oleh Luqmanul Hakim Abubakar - Dari Blog Bismillah]


Kamis, 22 April 2010

FIQH SUNNAH, BUKU TERBAIK ABAD INI

Posted by video download On 10.29

Hampir ratusan ribu buku fikih ditulis oleh para ulama muslim. Salah satu buku fikih paling fenomenal dan menjadi best seller hampir di seluruh negara, terutama negara muslim dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah kitab Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Kitab Fikih Sunnah pada mulanya adalah materi-materi fikih yang diajarkan Sayyid Sabiq untuk anggota Ikhwanul Muslimin. Atas anjuran Imam Hasan al-Banna, pendiri dan mursyid am (ketua umum) pertama Ikhwanul Muslimin, materi-materi tersebut akhirnya dibukukan. Tidak langsung utuh menjadi empat jilid seperti sekarang, tapi berupa buklet berseri.

Jilid pertama dari kitab Fiqih Sunnah diterbitkan pada tahun 1940-an. Isinya mengupas berbagai masalah mengenai fikih, seperti thaharah dengan berbagai macamnya, shalat wajib dan sunnah, hingga sebagian masalah zakat.

Jilid kedua mengupas sebagian masalah zakat, puasa, jenazah dan hal-hal yang berkaitan dengannya, haji, hingga sebagian masalah pernikahan.
Jilid ketiga mengupas hikmah poligami, berbagai hal tentang perkawinan (wali dan kedudukannya, hak dan kewajiban suami-istri, nafkah, akad nikah, walimah, dan sebagainya), serta berbagai hal yang berkaitan dengan hukuman. Dan jilid terakhir mengupas mulai dari jihad, perang, jizyah, ghanimah, kafarat sumpah, hukum jual-beli, riba, pinjaman, gadai, mudharabah, utang, dan sebagainya.
Buku Fiqih Sunnah ini adalah karya monumental. Fiqih Sunnah mengupas masalah-masalah fiqih Islam berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur`an, sunnah yang sahih, dan ijma' ulama kaum muslimin. Fiqih Sunnah dianggap memberikan bentuk yang sebenarnya tentang fiqih Islam. Sehingga, dengan membacanya banyak kalangan optimistis akan sebuah pencerahan; umat Islam dapat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah serta melenyapkan pertikaian pendapat, fanatik mazhab, dan menghapus takhayul yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Untuk itu pada 1994, berkat buku ini Sayyid Sabiq memperoleh penghargaan King Faisal Prize dalam bidang kajian Islam.***
Rujukan Ulama Seluruh Dunia
Kitab yang mendapat sambutan luar biasa dari seluruh ummat Islam di penjuru dunia ini memuat sekitar tiga ribu hadis dan ditulis selama kurang lebih 20 tahun. Bahkan, karenanya buku ini juga mendapat pengakuan dari seluruh ulama dunia sebagai kitab fikih terbaik dalam zaman modern ini.
Menurut Imam Hasan al-Banna dalam pengantarnya, salah satu kelebihan Fiqih Sunnah ialah pemaparannya yang mudah dan praktis, disertai dengan kupasan panjang lebar sehingga sangat sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Karena itulah, tidak mengherankan jika Fiqih Sunnah menjadi salah satu rujukan utama dalam masalah fikih di hampir semua penjuru dunia Islam.
Banyak ulama memuji buku ini. Menurut sebagian besar mereka, buku ini dinilai telah memenuhi hajat perpustakaan Islam akan fikih sunah yang dikaitkan dengan mazhab fikih. Karena itu, mayoritas kalangan intelektual yang belum memiliki komitmen pada mazhab tertentu atau fanatik terhadapnya begitu antusias untuk membacanya. Hal itu, tak lain karena sebagai buku rujukan, buku ini sangat memudahkan mereka untuk merujuknya setiap mengalami kebuntuan dalam beberapa permasalahan fikih.
Dan kini, kitab fikih Sunnah ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan dibaca orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

TENTANG FIQH

Posted by video download On 09.40

PENGERTIAN FIQH
Secara harfiah fiqh (fikih) berarti pengetahuan atau pemahaman yang mendalam tentang sesuatu, semisal maksud dari perkataan seseorang. Tetapi istilah ini selanjutnya berkembang menjadi nama khusus bagi ilmu tentang hukum agama Islam yang bersifat praktis (terkait dengan perbuatan manusia).

العلم يالأحكام الشرعية العملية المستفادة من أدلتها التفصيلية

Dalam khazanah keislaman, terdapat dua istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada hukum Islam, yaitu: (1) Syari'at Islam (Islamic Law) dan (2) Fikih Islam (Islamic Jurisprudence).

Syariah dalam pengertian etimologisnya berarti sumber air minum (mawrid al-ma' alladzi yuqsad li al-Shurb). Kata ini kemudian dipakai bangsa Arab dengan makna jalan yang lurus (al-sirat al-mustaqim). Yakni sebagaimana sumber air merupakan jalan kehidupan dan keselamatan bagi tubuh, maka demikian pula halnya dengan jalan lurus yang padanya terdapat kualitas yang menghidupkan jiwa dan akal serta membimbing manusia kepada kebajikan. Istilah ini belakangan dipinjam sebagai jalan ketuhanan, sehingga syariat Islam lantas dipahami sebagai sesuatu yang khas datang langsung dari Allah yang disampaikan melalui para rasul-Nya kepada manusia. Dengan pengertian ini tentu terdapat perbedaan cukup substansial dengan apa yang dimaksud sebagai fikih.

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها

Secara sederhana, hukum syariat berarti semua ketetapan hukum yang ditentukan langsung oleh Allah yang kini terdapat di dalam al-Qur'an dan penjelasan Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai Rasulullah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis. Sedangkan hukum fikih adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam. Maka dari itu, pemakaian istilah hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksud seringkali menimbulkan salah pengertian terutama jika dihubungkan dengan aspek perubahan dan pengembangan di bidang hukum.

Sejauh ini, sistem hukum Islam mengenal adanya lima kategori hukum (al-ahkam al-khamsah) yang dipergunakan sebagai patokan atau pedoman untuk mengukur tingkah laku manusia baik di bidang ibadah maupun muamalah, yaitu: (1) ja'iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnah, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram. Ibadah dalam konteks ini berarti cara dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan. Kaidah asal ibadah adalah larangan (haram). Maksudnya, semua perbuatan ibadah pada dasarnya dilarang untuk dilakukan kecuali secara tegas memang disuruh untuk melakukannya. Hal ini berbeda dengan muamalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia yang sifatnya terbuka. Kaidah asalnya adalah kebolehan (ibahah). Maksudnya, semua perbuatan pada asalnya boleh dilakukan kecuali terdapat larangannya dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Pembaharuan dalam bidang muamalah ini dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan jiwa Islam pada umumnya.

Adapun tujuan hakiki dari adanya perintah dan larangan dalam hukum Islam (maqasid al-syari'ah) adalah realisasi dan pemeliharaan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan ini dapat dipetakan menjadi tiga macam kepentingan:
(1) Daruriyah, bersifat primer dan niscaya bagi kehidupan manusia. Meliputi kebutuhan atas pemeliharaan agama (hifd al-din), jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-'aql), keturunan (hifd al-nasl) dan harta (hifd al-mal);
(2) Hajiyah, yakni hal-hal yang dibutuhkan untuk mengatasi atau mengurangi beban, kesempitan dan kesusahan. Misalnya dalam hal ibadah terdapat konsep rukhsah yang memperkenankan orang sakit tidak berpuasa Ramadhan dengan kewajiban menggantinya ketika sudah sehat. Dalam mu'amalah juga dikenal konsep pengecualian dari kaidah umum (istithna' min al-qawa'id al-'amah) serta keringanan (takhfif) dalam hal pemberian hukuman karena alasan-alasan tertentu;
(3) Tahsiniyah atau maslahah yang berkaitan dengan aspek keutamaan akhlak. Contohnya seperti perintah menutup aurat, larangan menjual barang yang haram, etika makan dan minum, larangan mutilasi dalam peperangan dan lainnya.
Maslahah yang bersifat tahsiniyah dapat dianggap sebagai pelengkap atau penyempurna (mukammil) dari kepentingan yang bersifat hajiyah. Demikian pula halnya maslahah yang bersifat hajiyah menjadi pelengkap dari kepentingan daruriyah.

AKAR SEJARAH FIQH
Membaca sejarah perkembangan fikih perlu dirunut mulai dari sejak masa kenabian dimana wahyu itu turun dan syariat Islam terbentuk. Bagaimanapun juga, fikih dalam pengertian luasnya tidak lain adalah ikhtiar serius untuk menjelaskan dan menjabarkan secara praksis pesan-pesan syariah yang kemudian terkodifikasikan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Sepanjang kesejarahan umat Islam yang kian hari semakin kompleks pasca meninggalnya Nabi Muhammad, syariah senantiasa menjadi referensi utama bagi umat Islam untuk menemukan petunjuk dan bimbingan dalam menghadapi dinamika kehidupannya. Pada konteks ini, syariah kemudian menjadi wilayah ijtihad yang bersifat open ended, yakni membuka ruang bagi adanya keragaman pemahaman dan tafsir. Yang menarik, ijtihad ternyata telah menjadi instrumentasi keagamaan yang penting selain al-Qur'an dan al-Sunnah bahkan sejak masa kenabian.

Hal ini dibuktikan misalnya dengan pembenaran prosedur Mu'az bin Jabal dalam memutuskan perkara yang akan dihadapinya selama bertugas di Yaman. Mu'az menjelaskan kepada Nabi bahwa apabila dalam suatu perkara tidak dijumpai jawaban praktisnya dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, ia akan berusaha mencari pemecahannya dengan pertimbangan akal. Penerapan prosedur pengambilan kebijakan serupa juga telah ditempuh oleh Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab semasa menjabat sebagai khalifah. Riwayat dari Maymun bin Mahran mendeskripsikannya berikut ini:

قضى فيه بقضاء؟ فربما قام إليه القوم فيقولون قضى فيه بكذا أو كذا فإن لم تجد سنة سنها النبي صلى الله عليه وسلم جمع رؤساء الناس فاستشارهم فإذا اجتمع رأيهم على شيئ قضى به وكان عمر يفعل ذلك فإذا أعياه أن يجد ذلك في الكتاب و السنة سأل هل كان أبو بكر قضى فيه بقضاء فإذا كان لأبي بكر قضاء فضى به وإلا جمع علماء الناس واستشارهم فإذا اجتمع رأيهم على شيئ قضى به كان أيو بكر الصديق إذا ورد عليه حكم نظر في كتاب الله تعالى فإن وجد فيه ما يقضى به قضى به وإن لم يجد في كتاب الله نظر في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن وجد فيها ما يقضى به قضى به فإن أعياه ذلك سأل الناس هل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber hukum Islam pada masa permulaan Islam adalah: (1) al-Qur'an; (2) al-Sunnah; dan (3) akal pikiran (ra'yu) manusia yang memiliki kompetensi ijtihad termasuk penguasaan metodologi hukum seperti ijma', qiyas dan lainnya.

Berbagai perbedaan pendapat (ijtihad) memang tercatat telah muncul sejak masa kenabian, tetapi sekalipun demikian ikhtilaf yang ada tidak sampai menyebabkan terjadinya sengketa yang berakhir pada perpecahan umat. Konflik secara terbuka baru menguat pasca kekhalifahan Uthman bin 'Affan dimana puncaknya terjadi pada peristiwa perang Jamal antara kubu Ali dan Aisyah serta perang Siffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Perseteruan baru mulai mereda sepeninggal Ali dan naiknya Mu'awiyah ke tampuk kekuasaan. Tetapi inipun tidak serta-merta menyebabkan polarisasi internal umat Islam menjadi berakhir. Sejak saat itu, umat Islam secara umum dapat dipetakan kedalam tiga kelompok berikut: (1) Mayoritas umat Islam yang menerima kepemimpinan Muawiyah, (2) Shiah yang masih loyal kepada figur Ali, dan (3) Khawarij.

Masing-masing kelompok tersebut memiliki corak pemahaman keagamaan yang khas, termasuk dalam aspek fikih. Misalnya aliran Khawarij yang berpendapat bahwa hak menjadi khalifah tidak hanya terbatas menjadi milik keturunan suku Quraysh, tetapi harus dikembalikan kepada pilihan merdeka kaum muslimin. Pandangan ini tentu berbeda dengan pandangan umum kelompok Ahl al-Sunnah maupun pandangan kelompok Syiah ketika itu. Khawarij juga berpendapat bahwa perbuatan ibadah merupakan bagian dari iman sehingga siapapun yang berbuat dosa besar (kabair) akan menjadi kafir. Bahkan kesalahan pemikiran atau pendapat juga masuk dalam kategori perbuatan dosa yang dapat menyebabkan kekafiran. Karena itulah mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah dan sahabat lainnya yang menerima keabsahan tahkim. Dalam persoalan taharah, mereka memandang bahwa kesucian tidak cukup hanya dengan bersihnya badan tetapi juga bersihnya lisan dari dusta dan perkataan batil lainnya. Atas dasar ini mereka menjadikan perkataan kotor dan sejenisnya sebagai hal-hal yang membatalkan wudhu. Khawarij juga percaya bahwa sumber hakiki satu-satunya dari syariat Islam hanyalah al-Qur'an dan bukan yang lainnya. Dari sini mereka banyak sekali menolak rumusan sunnah yang dinilai menyelisihi al-Qur'an. Misalnya hadith berikut:

لا وصية لوارس

Menurut mereka riwayat ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bolehnya ahli waris memperoleh wasiat.


كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين

PEKEMBANGAN FIQH
Sejak persebaran Islam ke berbagai penjuru bumi pada masa al-khulafa' al-rashidin, muncul pusat-pusat perkembangan ilmiah di negeri-negeri yang dikuasai oleh Islam seperti Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir dan Yaman. Perkembangan ini terjadi seiring dengan menyebarnya para sahabat Nabi ke berbagai penjuru negeri tersebut sebagai pemimpin maupun guru agama bagi rakyat setempat. Dari pusat-pusat keilmuan Islam yang ada, menguat dua aliran metodologi yang belakangan dikenal sebagai aliran Kufah atau Ahl al-Ra'yi dengan pusatnya di Irak dan aliran Madinah atau Ahl al-Hadith dengan pusatnya di Hijaz. Ahl al-Ra'yi dikenal sebagai aliran yang memiliki persyaratan ketat bagi penerimaan riwayat dan cenderung mempergunakan pendekatan rasional dalam memecahkan berbagai persoalan yang mengemuka. Sementara Ahl al-Hadith dikenal sebagai aliran yang sangat mengedepankan dalil-dalil dari teks suci baik al-Qur'an maupun al-Sunnah dalam menjawab persoalan yang ada. Adapun jika dari riwayat tidak diketemukan petunjuk, mereka cenderung bersikap tawaqquf atau memilih tidak memberi keputusan definitif terhadapnya. Dalam sejarahnya, antara kedua aliran ini terjadi perdebatan sengit yang berusaha saling mengunggulkan metodologi keilmuannya masing-masing.

Salah satu tokoh besar dari aliran Kufah yang belakangan dikenal sebagai peletak dasar mazhab fikih Hanafiyah adalah Abu Hanifah yang bernama asli al-Nu'man bin Thabit bin Zuta (700-767 M). Ia termasuk dalam generasi tabi'ut tabi'in yang menimba ilmu dari banyak tokoh seperti Hammad bin Abi Sulayman, 'Ata' bin Abi Rabbah, 'Ikrimah, Nafi', Zayd bin 'Ali, dan Ja'far al-Sadiq. Dasar-dasar mazhab pemikiran tokoh yang semasa hidupnya pernah dihukum cambuk dan dipenjara oleh penguasa dinasti Umayyah dan Abbasiyah karena menolak menerima jabatan ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Al-Qur'an; (2) Sunnah; (3) Ra'yu, dengan metode menemukan hukum: Ijma', Qiyas, Istihsan, dan Urf atau adat kebiasaan baik dari masyarakat setempat.

Mazhab ini sekarang banyak dianut oleh umat Islam di Turki, Syria, Irak, Afghanistan, Pakistan, India, Cina dan bekas wilayah Uni Soviet. Di Syria, Libanon dan Mesir, mazhab ini bahkan menjadi mazhab hukum resmi. Besarnya pengaruh pemikiran Abu Hanifah dalam bidang hukum Islam dapat terekam melalui komentar Imam Syafi'i berikut ini:

إن الناس كلهم عيال عليه في الفقه

"Dalam persoalan fikih, semua orang sebenarnya masih kerabat dekatnya (Abu Hanifah)"

Selanjutnya tokoh terkemuka dari aliran Madinah yang dikenal sebagai peletak dasar mazhab Malikiyah adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir al-Asbahi (713-795 M). Lelaki berdarah Arab ini belajar dari beberapa tokoh terkenal seperti 'Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibn Shihab al-Zuhri, Rabi'ah bin 'Abd al-Rahman, dan Yahya bin Sa'id al-Ansari. Mufti besar masjid Nabawi yang pernah dihukum cambuk oleh penguasa karena bersikeras meriwayatkan sebuah hadith yang sebelumnya telah dilarang oleh al-Mansur untuk mempublikasikannya itu, mazhabnya kini banyak dianut oleh umat Islam yang berdiam di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.

Adapun dasar-dasar referensial-metodologis dari mazhab pengarang kitab al-Muwatta' itu adalah: (1) Al-Qur'an; (2) Al-Sunnah. Di sini Malik menerima hadith mursal sejauh perawinya terpercaya (tsiqat). Ia juga mendahulukan khabar ahad daripada qiyas; (3) Praktek penduduk Madinah. Menurutnya, tradisi keberagamaan mereka telah berakar sejak zaman Nabi sehingga layak menjadi hujjah (dasar hukum) melebihi qiyas; (4) Perkataan shahabat. Malik berasumsi bahwa para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui wahyu dan sabda Nabi. Berdasar hal itu, maka perkataan atau pendapat para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil; (5) Al-Masalih al-Mursalah, yakni mengambil manfaat atau mencegah kerugian. Asumsinya bahwa kewajiban-kewajiban agama sebenarnya dimaksudkan tidak lain kecuali untuk memelihara tujuan-tujuannya baik yang daruriyah, hajiyah maupun tahsiniyah; (6) Al-Qiyas atau analogi hukum; dan (7) Sad al-Zarai' , atau mencegah hal-hal yang pada dasarnya boleh tetapi dinilai dapat mengantar kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh syariah.

Pada masa berikutnya muncul pemikir lainnya yang sangat berpengaruh di dunia Islam yaitu Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Uthman bin Shafi' bin al-Saib bin 'Ubayd b'Abd Yazid bin Hashim bin al-Muttalib bin 'Abd Manaf (767-820 M). Peletak dasar mazhab Syafi'iyah ini memulai pendidikannya melalui ulama yang ada di kampung kelahirannya Mekah, kemudian berguru kepada Imam Malik hingga wafatnya di Madinah. Selanjutnya ia juga sempat menimba ilmu kepada Muhammad bin al-Hasan di Baghdad sehingga ia memiliki pengetahuan dari dua aliran fikih yang terkenal di dunia Islam kala itu yakni fikih Hijaz (ahl al-hadith) dan fikih Irak (ahl al-ra'yi). Pokok-pokok mazhabnya dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) al-Qur'an dan al-Sunnah; (2) Ijma'; (3) Atsar Sahabat; dan (4) Qiyas.

Semasa hidupnya, Imam Syafi'i dikenal melewati tiga fase kehidupan intelektual yang penting sebagai berikut: (1) Fase Mekah, yakni sepulang studi di Baghdad sejak tahun 184 H kepada Muhammad bin al-Hasan. Seraya mengajar di Masjid al-Haram, ia menyempatkan diri untuk menulis karyanya yang dikenal sebagai al-Risalah; (2) Fase Baghdad, yakni kedatangannya untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H guna menyebarkan dan mematangkan pelajaran usul fikihnya; (3) Fase Mesir, yakni sejak kepindahannya ke negeri ini tahun 199 H. Fase ini dapat dikatakan sebagai masa kematangan intelektualnya. Menghadapi berbagai situasi dan kondisi kultural yang sangat berbeda di Mesir, Imam Syafii merevisi beberapa pemikiran usul maupun furu'-nya yang terdahulu, sehingga dikenal adanya qawl qadim (pendapat lama) dan qawl jadid (pendapat baru) dari Syafii. Pada masa inilah karya besar beliau al-Umm dituliskan. Revisi dari karya awalnya juga selesai pula di tempat ini, sehingga muncul pula istilah al-Risalah al-Qadimah (yakni yang ditulis di Mekah) dan al-Risalah al-Jadidah (edisi revisi setelah ia menetap hingga wafatnya di Mesir).

Tokoh terkemuka lainnya dalam bidang hukum Islam adalah Ahmad bin Hanbal (781-855 M). Beliau lahir di Irak dan sudah menjadi yatim sejak masih kanak-kanak. Pada masa perkembangannya, dia mendapati adanya dua metode studi ilmu syariah, yakni metode fikih dan metode hadith. Ia mengawalinya dengan studi fikih dari aliran ahl al-ra'yi melalui al-Qadi Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah. Kemudian beranjak mengkaji hadith kepada ulama-ulama di penjuru negeri seperti Irak, Syam, dan Hijaz. Ia juga sempat mulazamah kepada ahli hadith terkemuka di Baghdad, yakni Abu Hazim Hashim bin Bashir al-Wasiti. Pasca kematian gurunya tersebut, kembali ia berkelana ke berbagai negeri untuk mengumpulkan hadith. Ahmad bin Hanbal pertama kali bertemu Imam Syafi'i di Hijaz tahun 187 H. Sesudahnya, ia bertemu kembali di Baghdad dimana Ahmad belajar fikih dan usul darinya. Dia juga belajar dari ulama-ulama lain seperti 'Abd al-Razzaq bin Hamam, Sufyan bin 'Uyaynah, Yahya al-Qattan, al-Qalid bin Muslim, dan 'Abd al-Rahman bin Mahdi.

Ahmad bin Hanbal sempat mengalami cobaan dan hukuman yang berat dari para penguasa mulai dari masa al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan al-Wathiq karena menolak menerima akidah kemakhlukan al-Qur'an sebagaimana diyakini aliran Mu'tazilah yang berkuasa ketika itu. Adapun mazhabnya yang kini banyak dianut oleh penduduk Arab Saudi ini berdiri di atas fikih-sunnah dengan dasar-dasar utama berikut ini: (1) Al-Nusus. Dalam pandangan Ahmad, nash Kitab dan Sunnah berada dalam tingkatan yang satu tetapi dengan tingkat kehujjahan yang berbeda dimana sunnah berada sesudah Kitab. Bandingkan dengan pandangan al-Syafi'i sebelumnya; (2) Fatwa sahabat; (3) Hadith mursal dan dha'if adil. Beliau menerima mursal baik sahabi maupun bukan. Demikian pula halnya hadith dhaif diterima sebagai dalil jika memang tidak ada riwayat lain dalam hal tersebut termasuk fatwa para sahabat. Tetapi dhaif disini tidak dalam pengertian batil atau munkar atau dalam riwayatnya ada perawi yang muttaham (tertuduh sebagai pendusta). Jadi dalam tipologi Ahmad, hadith hanya ada 2, yakni sahih dan dhaif. Dhaif dalam tipologinya sejajar dengan hasan. Menurutnya:

الحديث الضعيف أحب إلي من الرأي

(4) Al-Qiyas. Metode ini dipakai dalam keadaan terpaksa jika sumber-sumber hukum sebelumnya tidak membicarakan persoalan tersebut.

Pada pertengahan abad ketiga hijriyah atau akhir abad ke-9 M, dimana fenomena mazhab dan aliran fikih telah terbentuk dan berkembang dalam komunitas umat Islam, pergerakan ilmiah tampaknya mengarah kepada usaha kritik dan kodifikasi hadits nabi. Hal ini terlihat melalui karya-karya besar yang belakangan dikenal dengan istilah al-kutub al-sittah (enam kitab hadits) karya para tokoh dari periode tersebut, yaitu: Bukhari (w. 870 M), Muslim (w. 875 M), Ibn Majah (w. 877 M), Abu Daud (w. 889 M), al-Turmuzi (w. 892 M), dan al-Nasa'i (w. 915 M). Sayangnya, memasuki abad ke-10 atau 11 Masehi, dinamika ilmu hukum Islam itu tampaknya mulai mengalami stagnasi. Ini terjadi di penghujung kekuasaan dinasti Abbasiyah dimana para ulama lebih asyik membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran ulama sebelumnya dalam lingkaran mazhabiyah dengan pembahasan hal-hal yang bersifat furu'iyah. Sejak itulah gejala taqlid atau mengikuti saja pendapat ahli sebelumnya mulai menguat. Pemikiran yang muncul relatif terbatas pada bentuk komentar atau sekedar catatan-catatan atas pemikiran yang ada dalam mazhabnya sendiri. Jadi, orientasi studinya bukan lagi pada upaya memahami prinsip-prinsip atau nash-nash hukum dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, melainkan ditumpukan pada pemahaman perkataan dan pemikiran para imam mazhabnya saja. Sementara dinamika masyarakat terus berkembang, pemikiran hukum justru berhenti berjalan dan berujung pada kemunduran. Faktor-faktor yang mendorong keadaan ini antara lain: retaknya kesatuan territorial Islam, ketidakstabilan politik, melemahnya kewibawaan pemerintah, dan lesunya kegairahan untuk berfikir merdeka. Faktor-faktor ini menjadikan jiwa dan ruh ijtihad yang begitu menyala di abad-abad sebelumnya menjadi tampak memudar bahkan padam dengan praktek taqlid mazhabiyah.

Kebangkitan gerakan pemikiran Islam mulai muncul kembali pada pertengahan kedua abad ke-19 M dengan seruan untuk al-ruju' ila al-kitab wa al-sunnah (kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah). Gerakan ini mencoba menyegarkan iklim kebebasan berfikir di kalangan umat Islam dengan memurnikan pemahaman yang bersandar pada sumber otoritatif Islam yakni al-Qur'an dan al-Sunnah. Para tokoh gerakan ini, khususnya Muhammad Abduh di Mesir, sangat mengecam taqlid dan fanatisme mazhab yang telah membungkam dinamika intelektual di dunia Islam selama beberapa abad lamanya. Gerakan pembaharuan atau reformasi hukum Islam dalam perkembangan mutakhir kini semakin memperoleh tempat dalam wacana keislaman kontemporer dalam berbagai corak reinterpretasi, kontekstualisasi dan dekonstruksi.

Baca juga: Sejarah dan pemahaman Fiqh

Sumber: peziarah.wordpress.com


Entri Populer